PATROLI SUKABUMI.CO.ID—Hari
minggu tanggal 1 Juny 2025.Dalam pemerintahan yang semakin kompleks ini,
transparansi dan integritas dalam pengelolaan sumber daya publik sangatlah
krusial. Namun, ketika kepentingan pribadi dan politik mulai merusak keputusan
yang seharusnya objektif, dampaknya terhadap masyarakat bisa sangat
merugikan.Polemik mengenai aktivitas PT Bogorindo Cemerlang di Desa Tenjojaya,
Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, kembali mencuat. Diduga Bupati Sukabumi
dijadikan bumper oleh PT. Bogorindo Cemerlang.Sebagai perusahaan yang
beroperasi di sektor publik, PT Bogorindo Cemerlang memiliki tanggung jawab
untuk beroperasi secara etis. Namun, dugaan penggunaan nama Bupati Sukabumi
sebagai tameng untuk melindungi praktik yang tidak sah menunjukkan adanya
konflik kepentingan yang serius.
Sengkarut kepemilikan lahan di Desa Tenjojaya, Kecamatan
Cibadak, Kabupaten Sukabumi, kini memasuki babak baru. Investigasi yang
dilakukan tim redaksi berhasil mengungkap indikasi kuat adanya pelanggaran
hukum dan administrasi dalam penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB)
Nomor 221 atas nama PT Bogorindo Cemerlang.Kasus ini bermula dari konflik warga
dengan aktivitas pembangunan Camping Ground yang diduga tak berizin di atas
lahan PT Bogorindo Cemerlang. Seiring bergulirnya protes warga, terkuak bahwa
di atas lahan tersebut berdiri fasilitas saluran milik PT Indonesia Power yang
ironisnya tercatat dalam SHGB PT Bogorindo Cemerlang.Berdasarkan dokumen yang
berhasil didapatkan, diketahui bahwa lahan tersebut awalnya merupakan bagian
dari Hak Guna Usaha (HGU) PT Tenjojaya. Pada tahun 1998 — atau lima tahun
sebelum berakhirnya masa HGU pada 2003 — PT Tenjojaya melepas sebagian haknya,
termasuk area saluran PT Indonesia Power, dan mengembalikannya kepada
negara.Secara hukum, setelah pelepasan tersebut, tanah tersebut berstatus
sebagai tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara, dan hanya dapat
dimohonkan haknya melalui prosedur resmi, transparan, serta terbuka untuk umum.
Namun, inilah titik awal kejanggalan. Berdasarkan keterangan sumber
internal dan dokumen permohonan hak, lahan yang sudah menjadi tanah negara itu
kemudian dimohonkan kembali oleh karyawan PT Surya Citra Furintrako (SCF), anak
perusahaan dari PT Bogorindo Cemerlang. Permohonan ini diduga hanyalah
formalitas, dengan karyawan tersebut bertindak sebagai nomine atau pihak yang
hanya dipinjam namanya, untuk kemudian menurunkan hak tersebut menjadi SHGB
atas nama PT Bogorindo Cemerlang.
Dalam kesempatanya Rozak Daud ketua Serikat Petani
Indonesia dan Fraksi Rakyat Kabupaten Sukabumi mengungkpkan “ PT.Bogorindo
Cemerlang modus lama dalam praktik mafia
tanah. Tanah negara seharusnya dikembalikan untuk kepentingan publik, bukan
diakali dengan skema nomine lalu berujung ke perusahaan yang sama. Hal
ini jelas menyalahi ketentuan agraria dan pengelolaan barang milik negara. Jika
benar, ini adalah bentuk kelalaian administratif berat dari pihak Badan
Pertanahan Nasional (BPN) setempat.Berbagai pihak kini mendorong BPN melakukan
audit investigasi terhadap seluruh proses penerbitan SHGB Nomor 221. Jika
ditemukan pelanggaran, sertifikat tersebut dapat dibatalkan demi hukum sesuai
ketentuan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.Kalau terbukti cacat hukum dan administrasi, sertifikat itu harus
dibatalkan, dan tanahnya dikembalikan ke negara. Bahwa kasus ini menjadi
gambaran nyata bagaimana celah administrasi pertanahan bisa dimanfaatkan untuk
kepentingan segelintir pihak, dengan merugikan masyarakat dan negara.
Seharusnya Pemerintah, BPN, dan aparat penegak hukum bisa bertindak tegas, agar
praktik-praktik mafia tanah seperti ini tidak lagi terjadi. Tak
berhenti di situ, dugaan pelanggaran administratif pun mengemuka. Proses
pengajuan hak hingga terbitnya SHGB Nomor 221 diduga tidak melalui mekanisme
yang sesuai ketentuan. Bahkan keberadaan saluran milik PT Indonesia Power yang
notabene fasilitas vital negara tetap dimasukkan ke dalam bidang SHGB tanpa
adanya berita acara pelepasan atau persetujuan dari PT Indonesia Power .Hal
ini jelas menyalahi ketentuan agraria dan pengelolaan barang milik negara. Jika
benar, ini adalah bentuk kelalaian administratif berat dari pihak Badan
Pertanahan Nasional (BPN) setempat.Berbagai pihak kini mendorong BPN melakukan
audit investigasi terhadap seluruh proses penerbitan SHGB Nomor 221. Jika
ditemukan pelanggaran, sertifikat tersebut dapat dibatalkan demi hukum sesuai
ketentuan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.Kalau terbukti cacat hukum dan administrasi, sertifikat itu harus
dibatalkan, dan tanahnya dikembalikan ke negara.Bahwa kasus ini menjadi
gambaran nyata bagaimana celah administrasi pertanahan bisa dimanfaatkan untuk
kepentingan segelintir pihak, dengan merugikan masyarakat dan negara.
Seharusnya Pemerintah, BPN, dan aparat penegak hukum bisa bertindak tegas, agar
praktik-praktik mafia tanah seperti ini tidak lagi terjadi.”Ungkap Rozak Daud kepada
para awak media.
Sementara itu, SKPD terkait, seperti Satuan Polisi Pamong
Praja (SATPOL PP) dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(DPMPTSP), tampaknya "dikebiri" dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya. namun dalam konteks ini, terdapat indikasi bahwa proses tersebut
telah dimanipulasi untuk menguntungkan pihak tertentu.*(GUNTA)