PATROLI SUKABUMI.CO.ID—Hari
Minggu tanggal 28 Septenber 2025.Permasalahan pengelolaan tanah enklave di
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) . Pembalakan
liar (ilegal logging) di Blok Cangkuang,Desa Cidahu Kecamatan Cidahu Kabupaten
Sukabum kembali mencuat. Lahan milik masyarakat yang berada di dalam area taman
nasional itu kini menghadapi persoalan serius. Terpantau Patroli Sukabumi.CO.ID
dilokasi maraknya praktik illegal logging dan adanya rencana pemanfaatan
kawasan sebagai arena wisata.Hasil pantauan di lapangan, sejumlah titik enklave
di wilayah perbatasan Sukabumi–Bogor tampak mengalami kerusakan hutan cukup
parah. Aktivitas penebangan liar terindikasi dilakukan secara terorganisir,
dengan jalur distribusi kayu menuju luar kawasan. Ironisnya, kerusakan hutan
justru terjadi di area yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Dalam kesempatanya Ketua Fraksi Rakyat Rozak Daud, yang
perwakilan Tim Advokasi Warga Cidahu mengungkapkan “ Bahwa tanah enklave di
dalam taman nasional memang memiliki status hukum khusus, namun tidak bisa
dijadikan alasan untuk melakukan perambahan liar.Enklave itu hak masyarakat,
tapi keberadaannya tetap tunduk pada aturan konservasi. Kalau dijadikan ladang
illegal logging, ini bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga penghianatan
terhadap amanah perlindungan hutan. Di sisi lain, muncul gagasan
dari sebagian pihak untuk menjadikan enklave sebagai kawasan wisata alam.
Wacana ini memunculkan pro-kontra. Pendukungnya menilai wisata berbasis
masyarakat dapat menjadi solusi ekonomi warga sekaligus mencegah perusakan
lebih jauh. Namun, sebagian aktivis khawatir wacana ini hanya kedok
komersialisasi yang justru mempercepat degradasi lingkungan.”Ungkapnya.
Lebih lanjut Rozak Daud menambahkan “Bahwsanya kami sedang melakukan inventarisasi lahan enklave dan koordinasi dengan ATR/BPN untuk memastikan status kepemilikan tanah.Kami tidak menutup ruang dialog dengan masyarakat, tetapi semua bentuk pemanfaatan harus mengacu pada prinsip konservasi. Enklave tidak boleh dijadikan alasan untuk memperluas kerusakan.Masyarakat lokal berharap ada kejelasan regulasi dan skema yang adil. Menurut laporan warga masyarakat cidahu , status tanah enklave yang mereka miliki sering membuat posisi mereka serba salah.Kami ingin hidup tenang, punya penghasilan dari alam. Kalau ada wisata, biar kami yang kelola, jangan malah orang luar yang ambil untung. Kasus enklave di TNGHS ini menjadi gambaran klasik konflik agraria di kawasan konservasi.Benturan antara hak masyarakat, kepentingan ekonomi, dan mandat perlindungan ekosistem. Para pemerhati lingkungan menegaskan, pemerintah harus segera menyiapkan juklak–juknis pengelolaan enklave yang jelas, agar kawasan hutan tidak terus-menerus jadi korban ketidak pastian.”Tambahnya.
Sementara itu Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi dari Komisi
II, Bayu Permana, menanggapi fenomena pembalakan liar yang terjadi di wilayah
Blok Cangkuang, yang berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(TNGHS), Kecamatan Cidahu mengungkapkan “ Bahwsanya persoalan ini terjadi
karena lemahnya aturan yang mengikat larangan penebangan di kawasan tersebut.Lokasi
yang merupakan bagian dari areal enklave, yaitu wilayah yang secara
administratif berada di dalam peta kawasan kehutanan, namun secara hukum belum
memiliki status yang jelas sebagai kawasan konservasi.Di areal enklave itu
memang belum ada aturan yang secara tegas melarang aktivitas eksplorasi,
sehingga dimungkinkan untuk dibuka untuk kegiatan seperti pertanian maupun
pariwisata.Namun demikian, Saya menekankan pentingnya mempertimbangkan fungsi
ekologis dari kawasan tersebut. Posisi Blok Cangkuang yang berada dalam satu
hamparan lereng Gunung Salak dinilai memiliki nilai konservasi yang tinggi
karena termasuk dalam satu ekosistem.Oleh karena itu, meskipun berada di luar
kawasan resmi taman nasional, seharusnya wilayah enklave ini tetap dijadikan
kawasan lindung atau konservasi, termasuk dalam bentuk perlindungan daerah
setempat atau kearifan local.”Ungkapnya.
Lebih lanjut Bayu menambahkan “ Saya juga menyampaikan
bahwa hal ini menjadi salah satu alasan mengapa Kabupaten Sukabumi perlu segera
memiliki Peraturan Daerah tentang pelestarian pengetahuan tradisional dalam
perlindungan kawasan sumber air. Perda ini dinilai penting untuk menjaga
wilayah-wilayah yang secara administratif di luar taman nasional namun memiliki
fungsi ekologis.Secara regulasi, hal itu
dimungkinkan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas
UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAE). Dalam beleid
tersebut terdapat ruang bagi penetapan kawasan konservasi di luar taman
nasional.Kawasan enklave di Blok Cangkuang ini bisa ditetapkan sebagai daerah
perlindungan kearifan lokal, atau kawasan yang memiliki nilai konservasi
tinggi. Tentu ini perlu respons cepat dari para pemangku kepentingan, mulai
dari pemerintah desa, pemerintah daerah hingga pengelola taman nasional. Saya mengingatkan
bahwa sekalipun status lahan tersebut masih enklave, fungsinya sebagai wilayah
konservasi dan perlindungan ekologis tetap harus dijaga untuk keberlanjutan
lingkungan dan memitigasi risiko bencana di masa depan.”Tambah Bayu
Hisitory Tanah Enklave :
Tanah Enklave di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (TNGHS). Ada lahan milik masyarakat (hak milik/garapan turun-temurun)
yang secara geografis berada di dalam kawasan taman nasional/hutan lindung.
Saat ini ada masalah ilegal logging, dan ada rencana pemanfaatan untuk arena
wisata. Tanah
Enklave pada umumnya adalah tanah milik adat, masyarakat, atau perorangan yang
berada di dalam kawasan hutan negara (misalnya taman nasional, hutan lindung,
atau hutan konservasi). Statusnya cukup rumit karena secara geografis masuk
kawasan hutan negara, tapi secara sosial-hukum ada penguasaan masyarakat.
IntinyaTanah
enklave diakui sepanjang ada bukti penguasaan/hak lama sebelum penunjukan
kawasan hutan.Bila tidak ada bukti, maka masuk dalam mekanisme perhutanan
sosial atau izin kelola terbatas.Kegiatan seperti wisata, pemanfaatan hasil
hutan, atau usaha lain harus mendapat izin dari KLHK atau Balai Taman Nasional.
Monitoring & Evaluasi Tim pengawas gabungan (Balai TNGHS, Pemda, tokoh
masyarakat, LSM).Evaluasi setiap 6 bulan untuk memastikan tidak ada pelanggaran
baru.Enklave tidak boleh diperluas. Zonasi diperuntukkan terbatas bagi
pemukiman dan kegiatan ekonomi berkelanjutan.Inventarisasi tanah enklave
dilakukan oleh Balai TNGHS bersama ATR/BPN dan Pemda.Pemetaan partisipatif
melibatkan masyarakat pemilik tanah.*(GUNTA)