PATROLI SUKABUMI.CO.ID—Hari Sabtu
tanggal 26 Julin 2025. Peristiwa larangan peliputan wartawan oleh
oknum keamanan Hotel Augusta di Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat, telah menjadi sorotan dan memicu polemik yang mendalam mengenai
kebebasan pers di Indonesia, tersebut seharusnya terbuka untuk media, namun
petugas keamanan hotel membatasi peliputan hanya untuk media tertentu.(
Jumat, 25 Juli 2025).Larangan peliputan ini kepada wartawan merupakan tindakan
diskriminatif terhadap kebebasan Pers, yang merupakan suatu pelanggaran
terhadap konstitusi hukum. Sesuai Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers.Peristiwa ini bermula ketika jurnalis dari MGSTV, Iqbal, bersama awak dari
megaswara.com hendak meliput, namun
mereka dihalangi, dan hanya individu dengan undangan khusus yang diperbolehkan
masuk. Pihak keamanan mengklaim bahwa kebijakan ini sesuai dengan aturan dari
"Dewan Pers."
Dalam kesempatanya Ketua Komisi Hukum dan
Perundang-undangan Dewan Pers, Abdul Manan, saat dimintai tanggapan oleh para
awak media menegaskan “ Bahwa melarang wartawan meliput di ruang publik tidak
dibenarkan, kecuali ada dasar hukum yang sah seperti alasan keamanan negara,
keputusan pengadilan, atau keselamatan publik. Tidak ada aturan yang
membolehkan pelarangan wartawan meliput kegiatan resmi pemerintahan. Justru UU
Pers melindungi kebebasan kerja jurnalistik di ruang public.Dewan Pers juga
mengingatkan bahwa tindakan menghalangi tugas jurnalis bisa dikenai sanksi
hukum, sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
UU Pers.Pemerintah, institusi, dan masyarakat perlu bersatu dalam mendukung
kebebasan berpendapat. Kebebasan pers harus dijunjung tinggi sebagai bagian
integral dari tata kelola pemerintahan yang baik. Praktik diskriminatif
terhadap larangan pemberitaan tidak hanya merugikan wartawan, tetapi juga
masyarakat secara keseluruhan.”Ungkapnya.
Sementara itu Ketua JUPPE ( Jurnalis Peduli Pembangungan )
Wahid Mengungkapkan “Bahwa tindakan ini bukan hanya sekadar insiden lokal,
tetapi mencerminkan sebuah masalah sistemik yang mengancam hak-hak wartawan
dalam menjalankan tugasnya.Hal ini jelas merupakan bentuk diskriminasi yang
tidak hanya melanggar etika jurnalistik, tetapi jug bertentangan dengan
konstitusi hukum yang mengamanatkan kebebasan berpendapat.Dalam konteks ini,
pers memiliki peran strategis dalam menyampaikan informasi, mengawasi
kekuasaan, dan mewakili suara publik. Dengan melarang wartawan meliput,
berarti juga menghambat hak setiap
individu unuk memperoleh informasi.Situasi ini berpotensi merugikan publik,
terutama dalam hal pengawasan terhadap kebijakan dan tindakan instansi yang
bersangkutan.Kebebasan pers adalah salah satu pilar utama dari sebuah demokrasi
yang sehat. Wartawan memiliki hak untuk menyampaikan berita, melakukan
investigasi, dan memberitakan fakta-fakta yang relevan, tanpa adanya tekanan
dari pihak manapun.”Ungkapnya.
Lebih lanjut Wahid menambahkan “Kasus ini pun menimbulkan
sorotan dari kalangan awak media dan pegiat kebebasan pers, yang menilai
pentingnya edukasi terhadap institusi publik maupun swasta mengenai hak dan
perlindungam wartawan dalam menjalankan tugasnya. Patut
diduga acara ini juga menabrak dengan
undang-undang atau regulasi yang melarang pejabat kabupaten mengadakan rapat
kerja di hotel, hal ini sering kali berhubungan dengan upaya untuk mengurangi
pemborosan anggaran negara serta mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam
penggunaan dana publik.Pelarangan semacam ini bisa dituangkan dalam peraturan
daerah (perda) atau dalam kebijakan yang lebih tinggi tingkatannya, seperti
surat edaran atau keputusan bupati. Biasanya, larangan tersebut bertujuan untuk
mencegah pengeluaran yang tidak perlu dalam rapat yang seharusnya bisa
dilaksanakan di kantor pemerintah atau fasilitas yang lebih sesuai dengan
anggaran yang ada.Seperti yng diamanatkan dari Peraturan Menteri
PAN-RB Nomor 6 Tahun 2015: mengatur tentang pedoman pembatasan pertemuan/rapat
di luar kantor dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas kerja
aparatur. Dan PMK No. 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri
Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap.”Tambahnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi
dari pihak manajemen Hotel Augusta maupun panitia penyelenggara kegiatan
mengenai pembatasan tersebut. Insiden ini menimbulkan pertanyaan publik tentang
transparansi acara pemerintahan dan sejauh mana pihak ketiga seperti hotel
memiliki kewenangan membatasi kerja jurnalistik. *(GUNTA)